Mengenal
Ritus Seda Knasu Dalam Masyarakat
Desa Nubamado[1]
(Bagian
satu)
Desa Nubamado lebih dikenal dengan
nama Kampung Namaweka. Desa ini menyimpan berbagai macam rahasia budaya.
Sayangnya dari berbagai macam budaya dan tradisi, beberapa di antaranya telah
kehilangan eksistensinya seiring dengan perkembangan zaman. Salah satu tradisi
yang kini hanya tinggal cerita ialah tradisi seda knasu. Tradisi seda knasu atau dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan injak padi merupakan tradisi yang terdapat dalam
masyarakat Desa Nubamado, Kecamatan Nubatukan,
Lembata. Tradisi yang merupakan peninggalan leluhur ini telah lama hilang. Akibatnya
tradisi ini pun dilupakan karena tidak diwariskan ke generasi selanjutnya.
Hingga kini warisan injak padi masyarakat Desa Nubamado atau dikenal dengan nama kampung Namaweka tinggal
cerita yang bahkan sangat jarang diceritakan oleh orang tua kepada anak-anak.
Seda knasu berasal dari
rumpun bahasa Lamaholot, khususnya dari wilayah Baolangu, Kampung Namaweka,
Desa Nubamado, Kabupaten Lembata. Secara
etimologis seda knasu berasal dari
kata seda yang berarti injak atau
menginjak dan knasu yang berarti
padi. Jadi seda knasu berarti
menginjak padi. Yang dimaksudkan dengan injak atau menginjak padi ialah
merontokan padi dari tangkainya (dengan cara diinjak menggunakan kaki). Padi
yang diinjak adalah padi yang baru dipanen (dipetik dengan tangan) dari ladang.
Ritus seda knasu biasanya
dilaksanakan setelah seluruh proses memanen di ladang telah selesai (pada saat semua hasil panen
terkhusus padi disimpan di dalam lumbung). Ritus ini dilakukan pada musim panas
yakni sekitar bulan Mei hingga bulan September atau Oktober.
Menurut masyarakat Desa Nubamado Seda knasu merupakan suatu ritus yang
berkaitan dengan ungkapan syukur atas hasil panen (padi) yang telah diperoleh
dari ladang. Selain sebagai upacara syukur panen, upacara atau ritus
ini juga merupakan peruatu bentuk permohonan
kepada leluhur dan pencipta untuk menjaga hasil panenan yang telah disimpan di
lumbung (wetak) khusunya hasil padi (knasu).
Perlengkapan
dan pihak-pihak yang terlibat dalan ritus seda
knasu
Dalam melaksanakan ritus seda knasu
atau injak padi dibutuhkan perlengkapan khusus. perlengkapan khusus itu dibagi
dalam dua bagian, yakni bahan-bahan untuk seremoni adat dan bahan-bahan selama
proses seda knasu. Untuk memulai seremoni adat dibutuhkan
beberapa perlengkapan yakni Kleruk malor
(Sirih pinang). Tebako
(tembakau kasar yang dibuat sendiri dari daun tembakau atau bisa diperoleh dari
pasar). Daun koli (daun lontar yang
sudah di haluskan permukaannya sehingga bisa digunakan untuk menggulung
tembakau). Tuak putih yang disimpan di dalam konok (konok adalah alat
yang terbuat dari tempurung kelapa yang berfungsi seperti gelas yakni menyimpan
air atau minuman lainnya termasuk tuak. Dalam ritus seda knasu, konok digunakan
untuk menyimpan tuak). Manuk lalung meran
(ayam jantan merah). Semua perlengkapan berupa bahan-bahan ini digunakan dalam
seremoni awal untuk memberi makan leluhur (nenek moyang yang sudah meninggal).
Setelah melakukan ritual memberi makan leluhur selanjutnya dilakukan
upacara seda knasu. Perlengkapan yang
dibutuhkan selama proses seda knasu berlangsung
antara lain: Mote atau nera atau kebola (dalam tulisan selanjutnya digunakan kata kebola). Kebola merupakan bakul yang terbuat dari daun lontar (koli). Kebola bisa berukuran kecil, sedang dan besar. Fungsi kebola besar ialah untuk menyimpan padi
yang belum diinjak dan yang sudah diinjak. Letaknya di dalam wetak (lumbung). Sedangkan kebola yang sedang digunakan untuk wadah
atau tempat menginjak padi. Kebola sedang
diletakan di luar wetak (lumbung).
Sedangkan kebola yang kecil gunakan
untuk mengambil padi yang disimpan di dalam kebola
besar yang berada di dalam lumbung. Osa
swae. Osa swae ialah tikar yang
terbuat dari anyaman daun lontar untuk menyimpan padi yang sudah diinjak
sebelum padi tersebut dimasukan kembali ke dalam lumbung. Petung. dalam bahasa Indonesia Petung
merupakan bambu hutan yang berkulit tebal dan memiliki duri. Petung digunakan sebagai alat pegangan saat
menginjak padi. Petung yang
digunakan berjumlah tiga buah (dua pendek dan satu panjang). Tiga buah petung itu dibuat seperti gawang yang berukuran
rendah namun agak panjang/lebar. Wawi dan
witi. Wawi dan witi adalah babi
dan kambing yang akan diolah untuk digunakan sebagai lauk saat makan bersama.
Selain perlengkapan yang diperlukan, ritus ini pun melibatkan berbagai
pihak. Dalam ritus injak padi, pihak-pihak yang terlibat yakni pemilik
kebun/ladang (laki-laki). Pemilik kebun adalah orang yang memiliki lahan kebun
yang dipanen. Pemilik kebun merupakan laki-laki asli dari Desa
Nubamado. Pemilik kebun (laki-laki) bertugas sekaligus sebagai
pelaku seremoni adat sebelum melakukan kegiatan menginjak padi. Sebagai pemilik
kebun atau ladang ia juga yang bertugas memberikan pakaian adat yakni kain brokat (kebaya) kepada saudarinya yang
akan mengangkat padi dari dalam lumbung untuk diinjak. Selain laki-laki pemilik
kebun terdapat juga keluarga yang terdiri dari Kwinai[2] (saudari perempuan
dari pemilik kebun yang bertugas mengambil padi dari dalam lumbung untuk
diinjak. Ia juga
bertugas mengambil/menerima padi yang sudah diinjak
untuk dimasukan ke dalam kebola di
dalam wetak (lumbung). Selama proses seda knasu berlangsung ia tetap berada
di dalam wetak) dan orang dewasa laki-laki yang diundang
untuk menghadiri ritus seda knasu.
Biasanya orang dewasa laki-laki ini berasal dari keluarga pemilik kebun dan
kerabat pemilik kebun. Terdapat empat belas orang laki-laki dewasa yang
bertugas menginjak padi. Mereka menginjak dengan menggunakan kaki kosong (tanpa
alas kaki) di dalam kebola sedang.
Tidak ketinggalan perempuan dewasa yakni istri, sanak keluarga dan kerabat yang
diundang selain kwinai (saudari
pemilik kebun). Mereka bertugas untuk mengolah dan menyiapkan makanan untuk
disantap bersama.
Proses ritus
Seda knasu
Setelah semua persiapan dilakukan dan semua pihak berkumpul maka akan
diadakan ritus seda knasu. Sebelum
sampai pada ritus seda knasu terlebih
dahulu dilakukan upacara seremoni sebagai tahap awal dalam ritus ini. Upacara
seremoni dilakukan dengan pertama-tama menyediakan malor (sirih), kleruk (pinang),
segumpal kecil tebako (tembakau),
sehelai daun koli (lontar),
sedikit daging manuk lalung meran (ayam
jantan merah) yang sudah direbus (sudah dalam bentuk daging ayam rebus) dan
sedikit tuak putih yang disimpan di dalam konok
(tempurung kelapa). Bahan-bahan itu kemudian diletakan di tanah di bagian
sudut kanan lumbung (pada tiang kanan bagian depan lumbung) tempat menyimpan
padi. Setelah diletakan di tempat itu, pemilik kebun memanggil arwah orang yang
meninggal dengan kalimat sebagai berikut:
Inaga amaga, opuga alapga, binaiga
makiga sawolem oli ma tobe diri be una tite beli, ma gamenu mio we ma liku jaga
kame we ma potal pore kniki wai beli, we kame parau nuja golu ribu ratu kayak
kebean be enu lolo beli.
(Bapa mama,
om tanta, saudara saudari, kalian semua (yang
telah meninggal) datang duduk berdiri di rumah ini, makan dan minum supaya bisa
menjaga makanan dan minuman kami sehingga kami bisa memberi makan anak-anak
kami dan keluarga yang masih hidup di atas bumi ini).
Setelah mengungkapkan kalimat itu, kwinai
(saudari dari pemilik kebun) mengenakan brokat
(kebaya) dan masuk ke dalam wetak
(lumbung). Di luar lumbung itu sudah disediakan tiga buah petung (bambu) yang
dipancang membentuk tiang gawang. Di bawah bambu itu disediakan tujuh pasang
(empat belas buah) kebola (bakul)
dengan masing-masing kebola terdapat
seorang laki-laki dewasa yang akan menginjak padi. Di antara laki-laki dewasa
itu terdapat seorang yang bertugas sebagai pemimpin jalannya proses injak padi.
Kwinai (saudari
pemilik kebun) mengeluarkan knasu (padi)
yang ada di dalam kebola dari dalam wetak. Padi
tersebut diberikan kepada keempat belas laki-laki yang akan menginjaknya (padi).
Kemudian keempat belas laki-laki itu memasukan padi itu ke dalam kebola. Mereka pun
turut masuk ke dalam kebola itu. Sambil
memegang pada petung (bambu
hutan) yang dipasang membentuk gawang pendek di hadapan mereka mulailah mereka
menginjak padi itu. Selama proses penginjakan itu, pemimpin akan mengangkat
sebuah lagu yang akan dinyanyikan bersama oleh keempat belas laki-laki itu.
Lagu yang dinyanyikan sebagai berikut berjudul Bolo Molong.
Oa
eee….. e seda lei goro gai bolo ala gara data, e besi uwung bosarau wade pare
jalengo bola lili gora ero lele…i… ero lele..a…o….ero..ero-ero take nanggo besi
sone gere tala ia tala ia o…. hai gole le ya.. (o ero.)
(Bolo Molong:
Ina (mama) e…. injak kaki sakit sekali nyanyi sampai suaraku sakit sekali dan
serak, aduh,, onggokan padi padat dan tinggi sekali, langkah berkeliling canda
tawa bersama).
Setelah padi yang diinjak itu telah rontok dari tangkainya maka akan
diganti dengan padi yang baru yang diambil oleh saudari pemilik kebun yang
berada di dalam lumbung. Padi yang telah diinjak akan disimpan di osa swae (tikar yang terbuat dari
anyaman daun lontar) yang di simpan di dekat wetak (lumbung) itu. Proses ini berlangsung hingga padi yang ada di
dalam lumbung habis. Selama proses seda
knasu berlangsung, laki-laki dewasa yang lain menyembelih babi dan
kambing. Daging babi dan kambing yang sudah dipotong itu kemudian diolah oleh
perempuan-perempuan dewasa untuk dijadikan tambo
(lauk) saat makan bersama. Selain mengolah daging perempuan-perempuan itu
juga memasak nasi dan sayuran lain yang akan
dihidangkan bersama daging babi dan kambing tersebut.
Setelah semua padi yang tersimpan di dalam kebola besar yang ada di dalam wetak itu
habis maka dilanjutkan dengan makan bersama. Namun, sebelum
disantap daging yang sudah matang itu dibagi ke dalam piring (wadah yang bisa
digunakan untuk menyimpan makanan) sama rata sesuai dengan jumlah orang yang
hadir dalam upacara itu (termasuk anak-anak walaupun mereka tidak terlibat
langsung dalam seluruh proses seda knasu).
Setelah selesai makan bersama, padi yang telah diinjak itu dimasukkan ke dalam kebola yang ada di dalam wetak. Setelah
semua padi itu dimasukan ke dalam kebola,
tiba tahap yang terakhir yakni sebetir
(memercik
dengan padi semua orang dan barang-barang yang ada disekitar wetak itu). Pada tahap
ini, kwinai akan
mengambil sedikit padi yang sudah disimpan di dalam kebola besar lalu memercikannya pada semua orang
yang hadir termasuk semua barang-barang yang ada. Dengan menghamburkan padi
tersebut ritus seda knasu berakhir.
[1]
Hasil wawancara dengan Bapak Boli Kalang, tokoh
masyarakat Desa Nubamado, via telepon pada 11 November 2019.
[2] Kwinai bisa merupakan saudari kandung dari pemilik kebun. Namun bisa juga saudari sepupu (baik itu sepupu kandung ataupun sepupu jauh) jika saudari kandung dari si pemilik kebun
tidak ada atau berada di tempat jauh.
Mntpp
BalasHapusSelamat melestarikan kebudayaan dengan menulis.🙏
BalasHapus