Secangkir Puisi

Secangkir Puisi

Secangkir puisi kutuangkan dalam gelasmu

Inginku, kau teguk penuh gairah.

Kau lumat bibir gelas dengan manja.

Semoga tak kau muntahkan amarah dendam padaku.

Ke Pasar

 

Ke Pasar

Ke pasar,

Kita membeli cinta; rupa-rupa rasa dari wajah ayah jatuh di pinggir jalan yang basah.

Ke pasar,

Kita tawar rindu sejuta; rupa-rupa dahaga dari wajah ibu di pagi yang subuh.

Ke pasar,

Ayah dan ibu sedang bercumbu dengan keramaian, membaca puisi yang sunyi di kepala dengan tubuh yang lusuh dan mata yang lesu.

Di pasar,

Kita selalu menenun sunyi di kepala ayah dan rindu di wajah ibu.

Leda, 02 Des 2023

Tentang Kematian

 Tentang Kematian

Itu ribut yang paling sepi

Itu pergi yang tak kunjung kembali

Itu sakit yang sudah selesai

Ya, kematian selalu mengintai kita hingga waktu yang tepat.

“Kapan?”

“Kita manusia kan?”

 

Semoga

Seketika,

Tubuhku tak kurawat begitupun hariku.

Hatiku tak kumanja begitupun ragaku.

Di pendopo biara,

Kawan-kawan sedang menyulam tawa dengan benang-benang cerita, menenun hari dengan senyum berbagai rupa.

Sedang di dapur,

Ada yang sedang memasak kisah, dari ribuan tapak kaki yang lelah. Ada yang membakar lupa, ada pula yang menyimpul doa “semoga tak lekas lupa.”

 

Leda, 07 Des 2023

 

Tentang Tubuh

Tubuh menyimpan luka,

Pun lupa pada tapak-tapak yang terluka.

Barangkali kita harus bercinta dengan tubuh sendiri, 

Merasakan debar-debar luka pada helai-helai malam yang panjang.

Leda, 27 Okt. 2023

 


Tuan

Tuan,

Jika tak punya rumah, bolehkah Kau numpang di sini?

Esok yang perawan,

Kau lanjut perjalanan, entah ke mana, entah pada siapa.

Leda, 2023

Ke Pasar

Ke pasar,

Kita membeli cinta; rupa-rupa rasa dari wajah ayah jatuh di pinggir jalan yang basah.

Ke pasar,

Kita tawar rindu sejuta; rupa-rupa dahaga dari wajah ibu yang lusuh.

Ke pasar,

Ayah dan ibu sedang bercumbu dengan keramaian, melafal puisi dengan sunyi di kepala pun tubuh yang lesu di suntuk subuh.

Di pasar,

Kita selalu menenun puisi di kepala ayah ribut rindu di wajah ibu.

Leda, 02 Des 2023


Resensi buku Roh Kudus dan Gereja karya P. Pice Dori Ongen oleh Edy Soge, Fr.

 Resensi Buku

Roh Kudus dan Gereja

Oleh Edy Soge

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere

 

Data Buku:

Judul               : Mendengarkan Apa Kata Roh Kudus Kepada Gereja

Penulis             : P. Petrus Dori Ongen, SVD

Penerbit           : Ledalero

Cetakan           : I, Maret 2021

Tebal               : xiv₊146 hlm

ISBN               : 978-623-6724-06-4

 

Gereja menghadapi tantangan yang serius di tengah situasi pandemi Covid-19. Hakikatnya  sebagai  communio, perkumpulan orang-orang yang percaya (communio/collegium fidelium) mengalami distorsi karena situasi lock down yang tidak memungkinkan sebuah perayaan liturgi dirayakan secara bersama. Social/physical distancing bisa membuat renggang relasi persaudaraan dan hubungan afeksional di dalam Gereja. Namun Gereja terbuka menjaga harmoni iman dengan memanfaatkan teknologi untuk menyapa dan meneguhkan umat beriman. Meski demikian, teknologi tidak pernah bisa memperkuat secara lebih intens persekutuan umat beriman.

Di tengah situasi demikian, Gereja mesti membuka diri terhadap kehadiran Roh Kudus yang terus menerus memanggil, menghibur, membarui, dan mempersatukan umat beriman. Roh Kudus senantiasa ada bagi Gereja.  The Holy Spirit dwells in the Church as the source of her life and sanctifies souls through the gift of grace (Guzman, 2001:127). Karena itu penulis buku ini, P. Petrus Dori Ongen, SVD dengan yakin menyatakan bahwa era ini adalah waktunya Roh Kudus (hlm. iii). Dikatakan demikian karena afirmasi biblis bahwa Roh Kudus terus menerus hadir untuk mengajar dan mengingatkan Gereja bahwa keselamatan dari Tuhan tak pernah hilang sebab firman Tuhan tak pernah berlalu meski langit dan bumi berlalu (Mat. 24:35).

Roh Kudus meremajakan Gereja dengan kekuatan Injil, membaharuinya terus menerus dan membimbingnya ke arah persatuan sempurna dengan mempelainya (LG,4). Lebih lanjut Lumen Gentium menegaskan,

Sesuai karya yang dipercayakan Bapa kepada Putera untuk ditunaikan di dunia ini (Yoh 17:4), diutuslan Roh Kudus pada hari Pentekosta, agar Ian senantiasa menyucikan Gereja. dengan demikian para beriman menemukan jalan kepada Bapa melalui Kristus dalam satu Roh (Ef 2;18).

Dialah Roh Kehidupan atau ‘sumber air yang memancar untuk kehidupan abadi’ (Yoh 4:14; 7:38-39). Dengan perantaraan Roh itu Bapa menghidupkan manusia yang telah mati karena dosa, sampai tubuh fana mereka Ia bangkitkan dalam Kristus (Rm 8:10-11). (Bdk. Hueken, 1987:62).

 

Gereja hadir di tengah dunia karena Roh Kudus. Peristiwa pentekosta dilihat sebagai momentum iman bagi cikal bakal kehadiran Gereja. Inilah anugerah kasih Allah melalui Yesus Kristus. Yesus sendirilah yang mendirikan Gereja. Dialah batu penjuru di mana Gereja didirikan. Dialah dasar semua pengalaman Kristiani dan gerejawi (hlm. vi).

Kehadiran Buku ini mengafirmasi apa yang ditegaskan oleh Kitab Suci dan ajaran Gereja. Buku ini menjadi sumbangan penting bagi refleksi iman Gereja di tengah dunia yang diliputi banyak masalah, baik masalah sosial, politik, agama, budaya, maupun masalah penderitaan akibat bencana alam. Saya melihat buku ini sebagai konsolasi spiritual dan inspirasi iman bagi Gereja yang mengemban misi keselamatan di dalam dunia.

Roh kudus hadir dalam peristiwa-peristiwa yang dialami sebagai rahmat oleh Gereja. Pater Pice melihat dua peristiwa penting dan bersejarah yaitu, perayaan 50 tahun ajaran Konsili Vatikan II tahun 2012 (hlm. 19-28) dan peristiwa 100 tahun karya misi Serikat Sabda Allah (SVD) di Indonesia (hlm. 83-92). Tidak hanya peristiwa-peristiwa sukacita itu, tetapi kehadiran Roh Kudus coba dilihat juga dalam peristiwa penderitaan seperti pandemi Covid-19 (hlm. 129-143). Lewat peristiwa-peristiwa ini Gereja belajar untuk mendengarkan dan terus mendengarkan sapaan Roh Kudus. Dengan sikap mendengarkan umat beriman yakin dan percaya bahwa Roh telah membimbing dan menuntun umat Allah di masa lalu, dan menuntun perjalanan seluruh dunia hingga saat ini (hlm. viii).

Sikap iman mendengarkan Roh Kudus di masa ini menghadapi tantangan-tantangan. Penulis menyebut lima (5) tantangan yaitu individualisme, kehidupan rohani yang dangkal, aktivisme, rasionalisme/intelektualisme, dan pemisahan/dikotomi antara hidup dan iman (hlm. 6-18). Kelima tantangan ini merupakan gambaran perilaku dan sikap manusia modern yang egositis, yang mementingkan kerja daripada doa, yang menganggap rasionalitas lebih utama daripada iman, dan lupa mengamalkan iman di dalam hidup. Iman sepertinya dihidupi hanya dalam perayaan, dan lupa diamalkan di dalam konteks dan praksis hidup. Iman macam ini menghambat misi keselamatan dan tertutup terhadap panggilan Roh Kudus.

Di dalam buku ini dibicarakan panggilan dan misi meskipun secara partikular di dalam karya misi SVD. Penulis yakin bahwa Roh Allah membangkitkan cinta dan semangat untuk misi (hlm. 57-66). Keyakinan ini secara konkret dilihat di dalam pribadi St. Arnoldus Janssen (yang memiliki devosi yang kuat terhadap Roh Kudus) (bab 6 dan bap 7). Lebih jauh refleksi misi adalah jawaban untuk beralih (passing over) dari missio ad gentes ke missio intergentes (hlm. 69-82). Dalam terang ad gentes misi dipahami sebagai kegiatan pewartaan pergi ke bangsa-bangsa yang dianggap belum mengenal Kristus. Sedangkan misi intergentes lebih melihat  kesalingan partisipasi dari pewarta dan umat yang menerima warta keselamatan. Pihak penerima adalah partner dialog dan mitra yang potensial untuk melawan segala bentuk ketiadakadilan. 

Misi kemanusian dan keberpihakan kepada yang miskin dan menderita harus menjadi pilihan pertama karya pelayanan dan pastoral Gereja. Paus Fransiskus mengatakan I prefer a Church which is bruised, hurting and dirty because it has been out on the streets, rather than a Church which is unhealthy from being confined and from clinging to its own securitysaya lebih bersimpati pada Gereja yang rapuh, terluka dan kotor karena menceburkan diri ke jalan-jalan ketimbang sebuah gereja yang sakit lantaran tertutup dan mapan mengurus dirinya sendiri (Evangelii Gaudium, 49). Paus Fransiskus memilih pastoral kesaksian, dan itu mengafirmasi Gereja sebagai sakramen, tanda keselamatan oleh Allah melalui umat-Nya.

Kehidupan Gereja, perjalanan misi Gereja lewat panggilan suci, dan jawaban umat beriman karena pembaptisan dapat berjalan dengan baik dan membuahkan hasil jika sikap mendengarkan Roh Kudus menjadi sikap iman yang terus menerus dihayati. Roh Kudus adalah satu-satunya kekuatan iman bagi kehidupan Gereja dan keberlangsungan misi. Karena itu penting bagi Gereja untuk mendengarkan apa kata Roh Kudus. Roh Kudus berbicara lewat peristiwa hidup dan pemaknaan atas peristiwa itu ialah usaha untuk memahami dan mengerti panggilan hidup sebagai orang beriman dan orang terpanggil.

Buku “Mendengarkan Apa Kata Roh Kudus Kepada Gereja” ditulis dengan bahasa sederhana dan berisi refleksi pribadi penulis atas peristiwa-peristiwa penting yang dialami. Terdapat 10 bab yang dibagi atas dua bagian. Bagian pertama memuat 4 bab yang berisi refleksi seputar tantangan-tantangan mendengarkan Roh, mendengarkan Roh dalam peristiwa 50 tahun ajaran KV II, ekaristi, dan Roh Allah yang membangkitkan cinta dan misi. Bagian kedua memuat 6 bap yang merefleksikan misi SVD dalam diri St. Arnoldus Janssen, perayaan 100 tahun SVD di Indonesia, misi ad gentes dan intergentes, dan sebuah releksi tentang covid-19 berdasarkan pengalaman pribadi penulis.

Buku ini menarik karena kaya dengan kutipan-kutipan Kitab Suci dan ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman pribadi yang dialami penulis. Pada bab-bab tertentu refleksi diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai bahan permenungan untuk pembaca. Lewat buku ini pembaca bisa mengenal semangat misi SVD. Refleksi dalam buku ini berisi informasi partikular tentang semangat misi SVD tetapi memuat refleksi yang bisa menginspirasi umat beriman, khusunya mereka yang berkaul dan tertahbis. Buku ini memiliki kekurangan seperti pengunaan kalimat yang tidak efektif. Ada paragraf tertentu menggunakan kalimat yang sangat panjang (hlm. 5, 12) dan juga penggunaan kata yang tidak baku seperti inklusiv (hlm. vii), bathin (hlm. 14), tahta (hlm. 15), terburuh-buruh (hlm. 12) yang seharusnya inklusif, batin, takhta, dan terburu-buru. Penulis juga tidak konsinten menjaga bentuk penulisan baku dari kata gereja untuk membedakan gereja dalam pengertian fisik dan Gereja dalam arti formal yang mestinya ditulis dengan huruf awal kapital (hlm. vi-vii). Kekurangan-kekurangan sederhana ini tidak pernah bisa menggantikan inspirasi iman dan misi dari refleksi-refleksi yang tertulis. Buku ini menjadi konsolasi iman di tengak kepelikan hidup dan menjadi inspirasi bagi karya misi Gereja, khusunya misi Allah yang dijalankan oleh SVD. Buku ini cocok dibaca oleh umat beriman yang memiliki rahmat pembaptisan, tahbisan dan kaul, khususnya mereka yang memiliki panggilan misioner seperti Serikat Sabda Allah. Kiranya buku ini berguna bagi pembentukan dan karya pelayanan Gereja di tengah dunia.

 

 

Catatan Rindu Mariam (01)


Mariam (01)

***

Mariam, Desember sudah tiba. Pernak-pernik natal sudah berjejeran di sepanjang muka toko. Beraneka jenis, bentuk juga warna yang tak kalah menarik. Dari dalam toko, si penjual menjual senyum penuh arti. Barangkali, ingin menggoda pembeli untuk mampir sejenak ke tokonya, melihat-lihat lalu pulang setelah  uang di dompet jadi miliknya. Ah.. Mariam. Begitulah dunia tipu-tipu. Persis seperti apa yang telah kau katakan setahun lalu.

“Orang bisa saja terlalu mudah mengumbar senyum. Namun bisa jadi ia tak tulus. Jangan kau terbuai olehnya atau  bahkan tergila-gila padanya.”

            Kata-katamu sederhana, namun punya makna mendalam. Mungkin kah demikian bahwa banyak orang suka mengumbar senyum atau bahkan menjualnya demi sesuatu yang fana? Entahlah. Masing-masing kita bisa merasakannya kan? Kataku dalam hati sembari kita menerjang malam kala itu.

***

Malam kian larut. Langit Maumere terasa sunyi, dingin. Rembulan sepi sendiri, menggigil di tengah malam. Mariam duduk di bale-bale bambu yang dibuat ayahnya di beranda rumah. Tatapannya tertuju pada remang rembulan..

“Rupanya rembulan sedang sepi. Ditinggal sendiri.”Gumamnya.

Entah mengapa pikirannya melompat jauh, sejauh tiga kali tiga ratus enam puluh lima hari yang lalu. Ketika kebahagiaan yang dipupuk selama dua tahun direnggut keabadian. Ya. Tepat tiga tahun lalu kekasih hatinya, Ellon meninggal tiba-tiba. Namanya tertulis pada palang kayu salib kubur yang sederhana. Beberapa hari sebelum hari itu, mereka sempat berjalan berdua di remang-remang senja Pantai Kita.

“Ell,  kau tahu rindu apa yang paling bikin bising?” tanya Mariam pada Ellon yang sedang melumat sebatang rokok surya.

“Barangkali rindu yang terlalu ribut dengan syarat.”  

“Benar. Juga rindu yang paling banyak anaknya di kepala.”

Keduanya saling menatap. Tersenyum. Berpelukan. Tubuh Ellon dingin sekali.

Senja masih saja tersenyum hangat meski detik perlahan-lahan berlalu dan malam sudah di muka pintu. Dingin semakin mencekam keduanya. Rupanya lebih dingin tubuh Ellon meski Mariam terus memeluknya dengan erat.

“Ell, tubuhmu dingin. Ada yang salah?”

“Ah, perasaanmu saja. Atau barangkali hawa yang terus menggerogoti kita.”

 “Entahlah”, sahut Mariam.

“Mariam, boleh aku bertanya?”

“Apa?”

“Kau tahu rindu apa yang paling bikin candu?”

“Ya, barangkali rindu yang datang tiba-tiba lalu pergi seketika. Itu rindu yang paling bikin gemuruh di dada.”

“Ah, tepat sekali.” Sahut Ellon, lalu tenggelam dalam sepi yang telah kembali.

 

***

Air mata Mariam jatuh satu-satu menikam tanah. Sedih sendirian. Hawa hanya diam. Barangkali ini yang juga dirasakan rembulan yang sedari tadi mengintip Mariam.

“Mariam, tak usah kau bersedih. Memang benar, sakit rasanya ketika ditinggal sendiri. Apa lagi ditinggal pergi kekasih yang sudah jadi bagian dari diri.” Rembulan mencoba menghibur Mariam.

“Bagaimana caranya agar aku dapat menghilangkan kesedihan ini? Kau tahu kan, dia adalah kekasih hati yang selalu menemaniku ketika melewati malam-malam dingin, menggenggam erat jemariku, menuntunku hingga tiba di rumah dan kau saksinya kan? Kau tahu kan, dia yang selalu menemaniku ketika aku bersedih, menghibur dengan gombalan-gombalan manja yang membuat hatiku mekar, jiwaku melayang? Kau tahu kan dia yang……. Ah, cukup. Mungkin kau tak tahu arti dia bagi diriku.” 

            Mariam beranjak pergi ke kamar. Rembulan ditinggal sendiri. Terdiam, merenung.  Angin menyapu wajah rembulan. Raut wajahnya yang sedih semakin mendung. Semakin lama semakin pekat. Lalu hujan pun turun satu-satu kemudian jadi lebat.

Di kamar, Mariam menarik selimut membalut tubuh. Dingin semakin menusuk sum-sum tulangnya. Terasa ngilu. Sebelum melancong di dunia mimpi, ia kembali mengingat masa-masa itu, ketika berdua di bawah rembulan ditemani debur ombak yang bising.

“Ell, penyair pernah bertanya, luka apa yang bikin duka pun duka apa yang bikin luka?”

“Itu rindu!”

“Mengapa?”

“Ya. Sebab rindu selalu menyayat hati, jadi luka pun jadi duka.  Apalagi jika sudah menjadi candu ia akan abadi.”

“Bukan kah rindu selalu punya cara untuk kembali?”

“Barangkali benar. Namun semakin ingin kembali semakin lebar luka yang sudah tersayat. Semakin besar duka yang kau rasa. Sakit!”

“ Kau tahu cara mengobatinya?”

“Barangkali dengan menghapusnya?”

“Bisakah?”

“Entahlah. Sebab jika sudah mati pun rindu selalu abadi.”

 Benar. Rindu adalah candu yang abadi dan kita adalah  para pecandu rindu yang selalu ingin kembali. Barangkali, berkali-kali kita ingin rindu kita menyatu dan doa kita menyata. Namun bukankah rindu yang mengandung banyak anak di kepala dan melahirkannya dalam doa adalah lebih mendamaikan dada lalu bikin bahagia di ujung kata amin? Entahlah.

“Selamat malam Ell. Semoga dari surga kau selalu merindu.”

Catatan Rindu Mariam.

Puisi-puisi Elton 02

 Rindu

Sajak ini kutulis di kala senja dihembusi angin timur dan rinduku seperti dedaunan meranggas di musim panas.

Barangkali, rindu adalah luka tersadis yang disayat jarak, atau sajak termanis yang dihidang waktu. Ah. Entahlah.

Anganku,

Di senja yang teramat manja, ingin kujumpa dirimu, menatap bening di matamu dan sejenak tenggelam di dalamnya.

“Jika kujumpa dirimu, izinkan aku menaruh bibirku tepat di ujung rasamu, dan biarkan kita mengeja cinta dengan mesra”,

Lomblen, Tempat Segala Rindu Beradu, 2019

 

Gerimis Pemagut

Riuh kembali lenyap

Kala hawa bertengger lelap

Jendela berbingkai senja

Mengintip cela dengan manja

Lalu berpaling pada tiada.

 

Di luar, gerimis menikam tanah

Beradu batu membisu

Mengubah lentus pada humus

Lalu lesap terhisap.

 

Di kamar, segelas bening berdinding kaca

Terseruput setengah menganga pada meja

Tak tersentuh jemari lusuh

Sejuta angan tertiup angin melayang ,terbang

Jatuh tertindih pilu, luluh.

 

Ah, pergilah,,,

Biarlah dirajam oleh gerimis pemagut balada

Lalu kembali ke peraduan cinta tiada lara

Berjumpa Sang Ada di lorong-lorong doa.

 

Arnoldus, Nice Place, Rumah Segala Rindu Berlabuh, 2019

 

 

Lara Purnama

Lara duduk manja di ujung rasa

Di pengujung hawa berbingkai purnama

Menelan senja berujung luka

Lesap pergi, merana.

 

 Purnama,

Kau datang pada hampa berselimut duka

Membawa sisa bara pada ujung kayu patah

Terpampang pada palang pintu kapela

Barangkali akan dibawa dalam sajak-sajak doa.

 

Purnama,

Dapatkah kau cinta

Kuat laksana baja

Takkan patah diterpa petaka?

Arnoldus, Nice Place, Rumah Segala Rindu Berlabuh, 2019

 

***Puisi ini pernah dimuat di media online Nalar Politik. Penulis sengaja memasukan puisi ini sebagai bagian dari “koleksi pribadi” pun bagian dari “memungut remah-remah perjalanan yang pernah tertinggal”.

 

 

 

Secangkir Puisi

Secangkir Puisi Secangkir puisi kutuangkan dalam gelasmu Inginku, kau teguk penuh gairah. Kau lumat bibir gelas dengan manja. Semoga...