Resensi buku Roh Kudus dan Gereja karya P. Pice Dori Ongen oleh Edy Soge, Fr.

 Resensi Buku

Roh Kudus dan Gereja

Oleh Edy Soge

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere

 

Data Buku:

Judul               : Mendengarkan Apa Kata Roh Kudus Kepada Gereja

Penulis             : P. Petrus Dori Ongen, SVD

Penerbit           : Ledalero

Cetakan           : I, Maret 2021

Tebal               : xiv₊146 hlm

ISBN               : 978-623-6724-06-4

 

Gereja menghadapi tantangan yang serius di tengah situasi pandemi Covid-19. Hakikatnya  sebagai  communio, perkumpulan orang-orang yang percaya (communio/collegium fidelium) mengalami distorsi karena situasi lock down yang tidak memungkinkan sebuah perayaan liturgi dirayakan secara bersama. Social/physical distancing bisa membuat renggang relasi persaudaraan dan hubungan afeksional di dalam Gereja. Namun Gereja terbuka menjaga harmoni iman dengan memanfaatkan teknologi untuk menyapa dan meneguhkan umat beriman. Meski demikian, teknologi tidak pernah bisa memperkuat secara lebih intens persekutuan umat beriman.

Di tengah situasi demikian, Gereja mesti membuka diri terhadap kehadiran Roh Kudus yang terus menerus memanggil, menghibur, membarui, dan mempersatukan umat beriman. Roh Kudus senantiasa ada bagi Gereja.  The Holy Spirit dwells in the Church as the source of her life and sanctifies souls through the gift of grace (Guzman, 2001:127). Karena itu penulis buku ini, P. Petrus Dori Ongen, SVD dengan yakin menyatakan bahwa era ini adalah waktunya Roh Kudus (hlm. iii). Dikatakan demikian karena afirmasi biblis bahwa Roh Kudus terus menerus hadir untuk mengajar dan mengingatkan Gereja bahwa keselamatan dari Tuhan tak pernah hilang sebab firman Tuhan tak pernah berlalu meski langit dan bumi berlalu (Mat. 24:35).

Roh Kudus meremajakan Gereja dengan kekuatan Injil, membaharuinya terus menerus dan membimbingnya ke arah persatuan sempurna dengan mempelainya (LG,4). Lebih lanjut Lumen Gentium menegaskan,

Sesuai karya yang dipercayakan Bapa kepada Putera untuk ditunaikan di dunia ini (Yoh 17:4), diutuslan Roh Kudus pada hari Pentekosta, agar Ian senantiasa menyucikan Gereja. dengan demikian para beriman menemukan jalan kepada Bapa melalui Kristus dalam satu Roh (Ef 2;18).

Dialah Roh Kehidupan atau ‘sumber air yang memancar untuk kehidupan abadi’ (Yoh 4:14; 7:38-39). Dengan perantaraan Roh itu Bapa menghidupkan manusia yang telah mati karena dosa, sampai tubuh fana mereka Ia bangkitkan dalam Kristus (Rm 8:10-11). (Bdk. Hueken, 1987:62).

 

Gereja hadir di tengah dunia karena Roh Kudus. Peristiwa pentekosta dilihat sebagai momentum iman bagi cikal bakal kehadiran Gereja. Inilah anugerah kasih Allah melalui Yesus Kristus. Yesus sendirilah yang mendirikan Gereja. Dialah batu penjuru di mana Gereja didirikan. Dialah dasar semua pengalaman Kristiani dan gerejawi (hlm. vi).

Kehadiran Buku ini mengafirmasi apa yang ditegaskan oleh Kitab Suci dan ajaran Gereja. Buku ini menjadi sumbangan penting bagi refleksi iman Gereja di tengah dunia yang diliputi banyak masalah, baik masalah sosial, politik, agama, budaya, maupun masalah penderitaan akibat bencana alam. Saya melihat buku ini sebagai konsolasi spiritual dan inspirasi iman bagi Gereja yang mengemban misi keselamatan di dalam dunia.

Roh kudus hadir dalam peristiwa-peristiwa yang dialami sebagai rahmat oleh Gereja. Pater Pice melihat dua peristiwa penting dan bersejarah yaitu, perayaan 50 tahun ajaran Konsili Vatikan II tahun 2012 (hlm. 19-28) dan peristiwa 100 tahun karya misi Serikat Sabda Allah (SVD) di Indonesia (hlm. 83-92). Tidak hanya peristiwa-peristiwa sukacita itu, tetapi kehadiran Roh Kudus coba dilihat juga dalam peristiwa penderitaan seperti pandemi Covid-19 (hlm. 129-143). Lewat peristiwa-peristiwa ini Gereja belajar untuk mendengarkan dan terus mendengarkan sapaan Roh Kudus. Dengan sikap mendengarkan umat beriman yakin dan percaya bahwa Roh telah membimbing dan menuntun umat Allah di masa lalu, dan menuntun perjalanan seluruh dunia hingga saat ini (hlm. viii).

Sikap iman mendengarkan Roh Kudus di masa ini menghadapi tantangan-tantangan. Penulis menyebut lima (5) tantangan yaitu individualisme, kehidupan rohani yang dangkal, aktivisme, rasionalisme/intelektualisme, dan pemisahan/dikotomi antara hidup dan iman (hlm. 6-18). Kelima tantangan ini merupakan gambaran perilaku dan sikap manusia modern yang egositis, yang mementingkan kerja daripada doa, yang menganggap rasionalitas lebih utama daripada iman, dan lupa mengamalkan iman di dalam hidup. Iman sepertinya dihidupi hanya dalam perayaan, dan lupa diamalkan di dalam konteks dan praksis hidup. Iman macam ini menghambat misi keselamatan dan tertutup terhadap panggilan Roh Kudus.

Di dalam buku ini dibicarakan panggilan dan misi meskipun secara partikular di dalam karya misi SVD. Penulis yakin bahwa Roh Allah membangkitkan cinta dan semangat untuk misi (hlm. 57-66). Keyakinan ini secara konkret dilihat di dalam pribadi St. Arnoldus Janssen (yang memiliki devosi yang kuat terhadap Roh Kudus) (bab 6 dan bap 7). Lebih jauh refleksi misi adalah jawaban untuk beralih (passing over) dari missio ad gentes ke missio intergentes (hlm. 69-82). Dalam terang ad gentes misi dipahami sebagai kegiatan pewartaan pergi ke bangsa-bangsa yang dianggap belum mengenal Kristus. Sedangkan misi intergentes lebih melihat  kesalingan partisipasi dari pewarta dan umat yang menerima warta keselamatan. Pihak penerima adalah partner dialog dan mitra yang potensial untuk melawan segala bentuk ketiadakadilan. 

Misi kemanusian dan keberpihakan kepada yang miskin dan menderita harus menjadi pilihan pertama karya pelayanan dan pastoral Gereja. Paus Fransiskus mengatakan I prefer a Church which is bruised, hurting and dirty because it has been out on the streets, rather than a Church which is unhealthy from being confined and from clinging to its own securitysaya lebih bersimpati pada Gereja yang rapuh, terluka dan kotor karena menceburkan diri ke jalan-jalan ketimbang sebuah gereja yang sakit lantaran tertutup dan mapan mengurus dirinya sendiri (Evangelii Gaudium, 49). Paus Fransiskus memilih pastoral kesaksian, dan itu mengafirmasi Gereja sebagai sakramen, tanda keselamatan oleh Allah melalui umat-Nya.

Kehidupan Gereja, perjalanan misi Gereja lewat panggilan suci, dan jawaban umat beriman karena pembaptisan dapat berjalan dengan baik dan membuahkan hasil jika sikap mendengarkan Roh Kudus menjadi sikap iman yang terus menerus dihayati. Roh Kudus adalah satu-satunya kekuatan iman bagi kehidupan Gereja dan keberlangsungan misi. Karena itu penting bagi Gereja untuk mendengarkan apa kata Roh Kudus. Roh Kudus berbicara lewat peristiwa hidup dan pemaknaan atas peristiwa itu ialah usaha untuk memahami dan mengerti panggilan hidup sebagai orang beriman dan orang terpanggil.

Buku “Mendengarkan Apa Kata Roh Kudus Kepada Gereja” ditulis dengan bahasa sederhana dan berisi refleksi pribadi penulis atas peristiwa-peristiwa penting yang dialami. Terdapat 10 bab yang dibagi atas dua bagian. Bagian pertama memuat 4 bab yang berisi refleksi seputar tantangan-tantangan mendengarkan Roh, mendengarkan Roh dalam peristiwa 50 tahun ajaran KV II, ekaristi, dan Roh Allah yang membangkitkan cinta dan misi. Bagian kedua memuat 6 bap yang merefleksikan misi SVD dalam diri St. Arnoldus Janssen, perayaan 100 tahun SVD di Indonesia, misi ad gentes dan intergentes, dan sebuah releksi tentang covid-19 berdasarkan pengalaman pribadi penulis.

Buku ini menarik karena kaya dengan kutipan-kutipan Kitab Suci dan ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman pribadi yang dialami penulis. Pada bab-bab tertentu refleksi diakhiri dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai bahan permenungan untuk pembaca. Lewat buku ini pembaca bisa mengenal semangat misi SVD. Refleksi dalam buku ini berisi informasi partikular tentang semangat misi SVD tetapi memuat refleksi yang bisa menginspirasi umat beriman, khusunya mereka yang berkaul dan tertahbis. Buku ini memiliki kekurangan seperti pengunaan kalimat yang tidak efektif. Ada paragraf tertentu menggunakan kalimat yang sangat panjang (hlm. 5, 12) dan juga penggunaan kata yang tidak baku seperti inklusiv (hlm. vii), bathin (hlm. 14), tahta (hlm. 15), terburuh-buruh (hlm. 12) yang seharusnya inklusif, batin, takhta, dan terburu-buru. Penulis juga tidak konsinten menjaga bentuk penulisan baku dari kata gereja untuk membedakan gereja dalam pengertian fisik dan Gereja dalam arti formal yang mestinya ditulis dengan huruf awal kapital (hlm. vi-vii). Kekurangan-kekurangan sederhana ini tidak pernah bisa menggantikan inspirasi iman dan misi dari refleksi-refleksi yang tertulis. Buku ini menjadi konsolasi iman di tengak kepelikan hidup dan menjadi inspirasi bagi karya misi Gereja, khusunya misi Allah yang dijalankan oleh SVD. Buku ini cocok dibaca oleh umat beriman yang memiliki rahmat pembaptisan, tahbisan dan kaul, khususnya mereka yang memiliki panggilan misioner seperti Serikat Sabda Allah. Kiranya buku ini berguna bagi pembentukan dan karya pelayanan Gereja di tengah dunia.

 

 

Secangkir Puisi

Secangkir Puisi Secangkir puisi kutuangkan dalam gelasmu Inginku, kau teguk penuh gairah. Kau lumat bibir gelas dengan manja. Semoga...