Catatan Rindu Mariam (01)


Mariam (01)

***

Mariam, Desember sudah tiba. Pernak-pernik natal sudah berjejeran di sepanjang muka toko. Beraneka jenis, bentuk juga warna yang tak kalah menarik. Dari dalam toko, si penjual menjual senyum penuh arti. Barangkali, ingin menggoda pembeli untuk mampir sejenak ke tokonya, melihat-lihat lalu pulang setelah  uang di dompet jadi miliknya. Ah.. Mariam. Begitulah dunia tipu-tipu. Persis seperti apa yang telah kau katakan setahun lalu.

“Orang bisa saja terlalu mudah mengumbar senyum. Namun bisa jadi ia tak tulus. Jangan kau terbuai olehnya atau  bahkan tergila-gila padanya.”

            Kata-katamu sederhana, namun punya makna mendalam. Mungkin kah demikian bahwa banyak orang suka mengumbar senyum atau bahkan menjualnya demi sesuatu yang fana? Entahlah. Masing-masing kita bisa merasakannya kan? Kataku dalam hati sembari kita menerjang malam kala itu.

***

Malam kian larut. Langit Maumere terasa sunyi, dingin. Rembulan sepi sendiri, menggigil di tengah malam. Mariam duduk di bale-bale bambu yang dibuat ayahnya di beranda rumah. Tatapannya tertuju pada remang rembulan..

“Rupanya rembulan sedang sepi. Ditinggal sendiri.”Gumamnya.

Entah mengapa pikirannya melompat jauh, sejauh tiga kali tiga ratus enam puluh lima hari yang lalu. Ketika kebahagiaan yang dipupuk selama dua tahun direnggut keabadian. Ya. Tepat tiga tahun lalu kekasih hatinya, Ellon meninggal tiba-tiba. Namanya tertulis pada palang kayu salib kubur yang sederhana. Beberapa hari sebelum hari itu, mereka sempat berjalan berdua di remang-remang senja Pantai Kita.

“Ell,  kau tahu rindu apa yang paling bikin bising?” tanya Mariam pada Ellon yang sedang melumat sebatang rokok surya.

“Barangkali rindu yang terlalu ribut dengan syarat.”  

“Benar. Juga rindu yang paling banyak anaknya di kepala.”

Keduanya saling menatap. Tersenyum. Berpelukan. Tubuh Ellon dingin sekali.

Senja masih saja tersenyum hangat meski detik perlahan-lahan berlalu dan malam sudah di muka pintu. Dingin semakin mencekam keduanya. Rupanya lebih dingin tubuh Ellon meski Mariam terus memeluknya dengan erat.

“Ell, tubuhmu dingin. Ada yang salah?”

“Ah, perasaanmu saja. Atau barangkali hawa yang terus menggerogoti kita.”

 “Entahlah”, sahut Mariam.

“Mariam, boleh aku bertanya?”

“Apa?”

“Kau tahu rindu apa yang paling bikin candu?”

“Ya, barangkali rindu yang datang tiba-tiba lalu pergi seketika. Itu rindu yang paling bikin gemuruh di dada.”

“Ah, tepat sekali.” Sahut Ellon, lalu tenggelam dalam sepi yang telah kembali.

 

***

Air mata Mariam jatuh satu-satu menikam tanah. Sedih sendirian. Hawa hanya diam. Barangkali ini yang juga dirasakan rembulan yang sedari tadi mengintip Mariam.

“Mariam, tak usah kau bersedih. Memang benar, sakit rasanya ketika ditinggal sendiri. Apa lagi ditinggal pergi kekasih yang sudah jadi bagian dari diri.” Rembulan mencoba menghibur Mariam.

“Bagaimana caranya agar aku dapat menghilangkan kesedihan ini? Kau tahu kan, dia adalah kekasih hati yang selalu menemaniku ketika melewati malam-malam dingin, menggenggam erat jemariku, menuntunku hingga tiba di rumah dan kau saksinya kan? Kau tahu kan, dia yang selalu menemaniku ketika aku bersedih, menghibur dengan gombalan-gombalan manja yang membuat hatiku mekar, jiwaku melayang? Kau tahu kan dia yang……. Ah, cukup. Mungkin kau tak tahu arti dia bagi diriku.” 

            Mariam beranjak pergi ke kamar. Rembulan ditinggal sendiri. Terdiam, merenung.  Angin menyapu wajah rembulan. Raut wajahnya yang sedih semakin mendung. Semakin lama semakin pekat. Lalu hujan pun turun satu-satu kemudian jadi lebat.

Di kamar, Mariam menarik selimut membalut tubuh. Dingin semakin menusuk sum-sum tulangnya. Terasa ngilu. Sebelum melancong di dunia mimpi, ia kembali mengingat masa-masa itu, ketika berdua di bawah rembulan ditemani debur ombak yang bising.

“Ell, penyair pernah bertanya, luka apa yang bikin duka pun duka apa yang bikin luka?”

“Itu rindu!”

“Mengapa?”

“Ya. Sebab rindu selalu menyayat hati, jadi luka pun jadi duka.  Apalagi jika sudah menjadi candu ia akan abadi.”

“Bukan kah rindu selalu punya cara untuk kembali?”

“Barangkali benar. Namun semakin ingin kembali semakin lebar luka yang sudah tersayat. Semakin besar duka yang kau rasa. Sakit!”

“ Kau tahu cara mengobatinya?”

“Barangkali dengan menghapusnya?”

“Bisakah?”

“Entahlah. Sebab jika sudah mati pun rindu selalu abadi.”

 Benar. Rindu adalah candu yang abadi dan kita adalah  para pecandu rindu yang selalu ingin kembali. Barangkali, berkali-kali kita ingin rindu kita menyatu dan doa kita menyata. Namun bukankah rindu yang mengandung banyak anak di kepala dan melahirkannya dalam doa adalah lebih mendamaikan dada lalu bikin bahagia di ujung kata amin? Entahlah.

“Selamat malam Ell. Semoga dari surga kau selalu merindu.”

Catatan Rindu Mariam.

Secangkir Puisi

Secangkir Puisi Secangkir puisi kutuangkan dalam gelasmu Inginku, kau teguk penuh gairah. Kau lumat bibir gelas dengan manja. Semoga...